Seseorang pernah bertanya bagaimana saya bisa
begitu menyukai hujan. Ketika itu saya jawab tidak tahu. Ya, saya memang tidak
tahu. Rasanya seperti pertanyaan, “Bagaimana
bisa kau begitu mencintainya? Berikan alasanmu!”. Saya hanya merasa nyaman
ketika hujan tiba, dan momen yang menjadi favorit saya adalah ketika pertama
kali hujan mencium tanah yang kering dan ketika hujan seketika berhenti
menyisakan tanah yang basah dan tetes-tetes air di genting, di kaca, di
mana-mana, juga kubang-kubang air di halaman. Orang itu harus cukup merasa puas
dengan jawaban saya sekenanya. Lalu saya berlanjut memandangi hujan. Dalam
hati: Hiruplah aromanya! hujan punya
aroma yang kas. Kau akan mengerti kemudian.
Bagi sebagian orang hujan bisa diartikan
seperti musibah, penghambat, dll. Ah hujan tidak seperti itu, saya bisa mencari
pembenarannya. Pertama, Hujan hanya sejenak ingin membuatmu istirahat, menghentikan
aktifitasmu barang sedetik untuk menengok ke luar jendela. Kedua, Hujan hanya
ingin mengingatkanmu akan sesuatu, seperti “Jemuranmu
belum kau angkat!” atau “Astaga, ayah
tak bawa mantel!” hujan membantumu
aware terhadap sesuatu. Ketiga, hujan mendekatkan yang jauh dan merekatkan yang
sudah dekat. Hujan akan memaksa orang-orang dijalanan menepi, mencari tempat
yang teduh. Yang walaupun harus berdampingan dengan orang yang tak dikenal,
sepanjang durasi hujan bahkan kita bisa membicarakan banyak hal bersamanya.
Hujan membantu sepasang kekasih yang baru marahan untuk sejenak diam di pinggir
jalan sambil menunggu hujan reda, sambil menunggu emosi mereka ikut mereda.
Lebih jauh dari itu bagi saya hujan identik
dengan ‘rindu’ dan ‘menunggu’. Entah bagaimana dengan kalian namun hujan bisa
membuat saya berdiam diri dan duduk berlama-lama hanya untuk memandanginya.
Hujan membuat saya merasa seperti menunggu sesuatu yang sangat –eh maaf,
teramat sangat saya rindukan kehadirannya. Dan perasaan seperti itu (entah apa)
hanya bisa tercipta saat hujan turun dan akan ikut mereda ketika hujan reda.
Namun seperti yin dan yang, hujanpun demikian.
Seperti kedua sisi mata uang. Kadang dia menenangkan kadang dia menegangkan.
Seperti saya sangat menyukai hujan, dibuat nyaman oleh hujan, sayapun pernah
merasakan ketakutan karena hujan. Entah bagaimana saya seolah merasakan hujan
marah dan langit sendu, yah.. merasakan semesta yang sedang murung. Dan suasana
yang tercipta bisa sangat tmembuat hati tidak nyaman.
Baiklah mungkin ini omong kosong seorang
pendramatisir keadaan. Namun semenjak itu saya merasa semakin dekat dengan
semesta. Saya merasa bisa merasakan apa yang semesta rasakan. Semesta seperti
ibu, dimana kita dibesarkan dengan tanah dan airnya. Dan kepada ibu kita,
Pertiwi. Yang menjadi nama belakang saya. Hehe sayapun cukup bangga, semesta
menjadi bagian dalam diri saya.
Sekian. Terimakasih.